Friday, 08 September 2006 14:42
Golkar Menggebrak Lewat SOKSI
Di pertengahan jalan pemerintahan SBY-JK, Golkar mengembangkan wacana untuk menilai kembali dukungannya. Banyak alasan kenapa Golkar kecewa. Namun suara Golkar yang digemakan lewat SOKSI, menuai kritik dari partai-partai lain dan para pengamat. Benarkah Golkar akan menarik dukungan? Tunggu saja sampai Rapim Golkar Oktober nanti.
Gaungnya laksana halilintar. Tanda tanya yang mengundang polemik dan reaksi keras: “Apakah Golkar akan menarik dukungannya pada pemerintah?” Begitu SOKSI kepanjangan tangan politik Golkar menciptakan gelombang kejutan untuk meninjau kembali dukungan terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di mana reaksi penuh prasangka mengarah kepadanya. Golkar sudah sejak awal diwaspadai sebagai partai pendukung yang sewaktu-waktu bisa melesat ibarat belut, dicurigai seolah-olah ingin menguasai kabinet.
Sikap SOKSI sangat jelas seperti diungkap oleh pucuk pimpinannya Syamsul Mu’arif yang juga ketua bidang organisasi Golkar. Kata Syamsul, SOKSI melihat peran Golkar lebih banyak digunakan hanya untuk membela kepentingan pemerintah. “Kami bahkan mengatakan sebagai bemper politik pemerintah di legislatif,” kata Syamsul dalam wawancara khusus dengan Berita Indonesia. Tugas Golkar di DPR, menghadang fraksi-fraksi yang bisa “mengerjai pemerintah.” Memang tidak pernah ada satu langkah politik yang bisa lolos di DPR ketika Golkar menyatakan sikapnya. Tetapi, kesannya Golkar kurang peduli dengan kepentingan masyarakat.
Menurut Syamsul, Presiden tidak berupaya membangun dukungan parlemen yang cukup signifikan, kecuali Golkar yang mengambil inisiatif untuk memberikan dukungan politik. Mengamati perkembangan dinamika ini, SOKSI juga melihat kegamangan pemerintah SBY-JK di dalam mengambil langkah-langkah yang tegas. Padahal SBY dipilih oleh 60 persen rakyat, semestinya dia berani.
Dia menilai, kalau begitu terus, pemerintahan ini tidak akan kuat. Katanya, kalau pemerintah sudah membawa gerbong-gerbong PAN, PKS, PBB, PPP, PKB, Partai Golkar dan Demokrat, ketua-ketua umumnya harus diundang. Katakan: “Kalian tujuh ini adalah patner saya dalam pemerintahan. Oleh karena itu, saya memerlukan dukungan politik di DPR.” Saran Syamsul, buka saja ke publik, tidak ada salahnya presiden mengambil langkah seperti itu. Sehingga jelas mana partai pendukung pemerintah, mana partai oposisi. Sekarang, ada partai-partai yang tidak mengambil posisi oposisi, tapi juga tidak mengatakan sebagai pendukung. Mereka independen, karena itu lebih enak untuk bergerak.
Menurut Syamsul, untuk membangun hubungan antara legislatif dan eksekutif, mestinya dukungan di parlemen dari tujuh partai tadi cukup signifikan. Tidak usah tujuh partai, lima partai saja, lebih dari 50 persen, itu sudah cukup, tidak usah mutlak 70 persen di DPR. Sebab jika ada kebijakan yang salah tetapi didukung oleh DPR, nanti juga dikritisi oleh rakyat yang lain. “Legislatif seperti itu juga tidak benar,” kata Syamsul.
“Tetapi kenapa Presiden sering tidak berani?” kata Syamsul dalam nada tanya. Karena dia berhadapan dengan DPR yang kritis, DPR yang mempunyai kekuasaan yang besar, yaitu memegang hak bujet (anggaran). Artinya, proyek-proyek juga ditetapkan oleh DPR. Memang banyak kader yang menafsirkan bahwa SOKSI menghendaki menteri-menteri ditarik. Syamsul meyakinkan mereka tidak ada kewenangan partai untuk menarik menteri, karena itu kewenangan Presiden.
Pernyataan SOKSI, kata Syamsul, tidak berkait dengan permintaan masuknya orang-orang Golkar di kabinet. Yang diminta oleh SOKSI evaluasi dukungan Partai Golkar terhadap pemerintah dalam Rapim Golkar Oktober nanti. Rapim itulah yang akan mengevaluasi dukungan tersebut, di mana untungnya, di mana ruginya. Kalau umpamanya menimbulkan kegelisahan di dalam, “kita netral saja.” Dengan bersikap netral, kata Syamsul, tidak ada beban politik, tidak ada keharusan untuk membela pemerintah. “Barangkali itu akan lebih bagus bagi Golkar untuk menghadapi Pemilu tahun 2009,” kata Syamsul.
Posisi JK
Menurut Syamsul, meskipun Golkar mengambil sikap netral, Jusuf Kalla tetap Ketua Umum Golkar dan Wakil Presiden, tidak ada masalah. JK jadi Wapres bukan karena Golkar. Waktu itu, Golkar mengajukan Jenderal (Pur) Wiranto dan Solehuddin Wahid sebagai calon presiden dan wakil presiden. Pada pemilihan presiden tahap kedua, Golkar mendukung Ibu Megawati. Jadi apa pun yang terjadi, dia sudah ditakdirkan untuk menjadi Wapres. Setelah menjadi Wakil Presiden, JK menjadi Ketua Umum Golkar. Menurut Syamsul wajar kalau Golkar membela ketua umumnya.
JK sendiri menegaskan bahwa Golkar harus kritis, objektif, dan profesional. Dan Presiden SBY sendiri mengatakan, “Kritisi saya kalau ada hal-hal yang tidak benar. Jadi, kalau Golkar netral, bukan berarti tidak mendukung pemerintah.” Syamsul mempertanyakan, kalau kritis, objektif dan profesional, tetapi bagaimana mengkritisi secara objektif sementara Golkar berposisi mendukung. “Mestinya ada sikap interdepensi,” kata Syamsul, “Tetapi, ketika dukungan itu diberikan, kita merasa dijadikan bemper saja.” Tidak hanya dalam soal Gubernur Lampung, melainkan juga untuk semua persoalan nasional, “Sikap Presiden tidak tegas, mengambang.”
SOKSI tidak menyalahkan SBY secara pribadi, tetapi mempertanyakan sikap presiden dan pemerintahan dalam satu kesatuan. Misalnya, di dalam membangun koalisi tujuh partai. Bilang yang jelas, “Kalian adalah kawan saya. Saya ingin dapat advis dari kalian. Dukung dong saya di parlemen, jangan menteri menteri saya dipermainkan.”
Kata Syamsul, “Coba budayakan seperti itu, saya kira pemerintah tidak akan mengalami kesulitan.” Hanya itu yang bisa menumbuhkan stabilitas kepercayaan kepada pemerintah, karena langkahnya didukung. Tetapi langkah pemerintah tidak atas dasar kepentingan sesaat, sepihak atau kepentingan golongan. Harus kepentingan nasional. Dia merujuk pada rencana pembentukan Lembaga Penasihat Presiden. Ketujuh pucuk pimpinan mesti didudukkan di dalam lembaga tersebut, selain tokoh-tokoh independen.
Kata Syamsul, SBY dari kalangan militer yang paling pintar, memperoleh hadiah pedang emas dari Lemhanas. Dia memiliki pengalaman luar negeri yang cukup. Dia Jenderal yang berpikir. “Situasi seperti ini masih tiga tahun, tetapi SOKSI tidak pernah berpikir SBY-JK harus jatuh, jangan sampai jatuh,” kata Syamsul.
Nada yang hampir sama datang dari Wakil Ketua Umum dan Wakil Sekjen Golkar, Agung Laksono dan Priyo Budi Santoso. Agung mengingatkan wacana pengkajian kembali posisi Golkar perlu diperhatikan oleh pemerintah. “Penambahan kursi Golkar di kabinet sekalipun digulirkan, bukan itu tujuannya. Yang lebih penting perbaikan kinerja kabinet,” kata Agung sebagaimana dikutip Republika (1/9). Agung merasa yakin bahwa SBY akan melakukan perombakan kabinet, karena suara masyarakat menghendaki seperti itu.
Sedangkan Priyo Budi Santoso menegaskan sikap partainya bahwa desakan untuk melakukan reposisi bukan sekadar manuver. “Saya harus bicara jujur bahwa di elemen Partai Golkar banyak suara keras yang meminta dilakukan kajian ulang,” kata Priyo. Dewan Pimpinan Daerah Golkar Lampung malahan sudah secara resmi meminta pimpinan pusat untuk mencabut dukungan terhadap pemerintah.
Kekecewaan mereka terhadap pemerintahan SBY, terutama dipicu oleh kasus Walikota Depok dan Gubernur Lampung. Syamsul menilai, ketika Badrul Kamal menang di Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung untuk menjabat Walikota Depok, UU-nya menegaskan bahwa putusan Pengadilan Tinggi (PT) atas nama Mahkamah Agung adalah final dan mengikat. Final artinya tidak ada putusan setelah itu. Mengikat artinya harus dilaksanakan. Tetapi timbullah wacana tentang KKN, citra publik seperti itu.
Hal ini, kata Syamsul, semestinya tidak boleh dipersoalkan lagi karena sudah merupakan keputusan hukum. Kalau dikatakan, “ini supremasi hukum,” laksanakan. Tetapi itu tidak dilaksanakan, dan ditunggulah Peninjauan Perkara (PK). Dan PK membatalkan keputusan PT. Lantas mana di antara keduanya yang harus diikuti? Menurut UU sebenarnya tidak memungkinkan PK, karena keputusan PT sudah final dan mengikat. “Kenapa ini bisa terjadi? Karena Badrul Kamal Golkar. Karena itu, Golkar dibiarkan saja terpuruk,” kata Syamsul.
Berbeda dengan Lampung. Alzier memenangkan pemilihan Gubernur Lampung. Pemilihan dilakukan oleh DPRD, dan Alzier diajukan oleh fraksi PDIP, tetapi dibatalkan oleh DPP PDIP karena dijatuhi hukuman dalam kasus pidana. Alzier sudah menjadi Ketua DPD Golkar Lampung ketika turun putusan MA yang membebaskan dan menyatakan pemilihan Alzier pada saat itu sah. Dan karenanya pemilihan Syahruddin tidak sah.
Kata Syamsul, itulah keputusan MA yang sudah final. Artinya, Syahruddin harus diberhentikan dan Alzier harus dilantik. Tetapi Golkar tidak meminta Alzier dilantik. Permintaan Golkar, laksanakan putusan MA dengan menyatakan Syahruddin tidak sah. Gubernur sekarang diberhentikan, dan ditetapkan care taker (pejabat sementara) untuk selanjutnya dipilih Gubernur baru melalui Pilkada. “Itu usul Partai Golkar. Ada subjektif apa lagi yang salah pada pikiran Partai Golkar?” kata Syamsul.
Itu juga menjadi pandangan SOKSI, dan sudah disampaikan kepada Presiden SBY. Kata Syamsul, Presiden ragu, barangkali, lalu meminta Mendagri untuk membikin surat yang meminta fatwa ke MA yang menyatakan bahwa untuk memberhentikan tidak ada amar dalam putusan MA, tapi itu kewenangan presiden. “Tapi nyatanya sampai sekarang tidak ada putusan seperti itu. Semuanya mengambang,” kata Syamsul.
Ancaman reposisi dari Golkar dianggap angin lalu oleh Partai Demokrat, pendukung utama pemerintahan SBY. “Gertakan reposisi hanyalah manuver politik Golkar untuk menaikkan posisi tawar,” kata Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat sebagai dikutip oleh Republika (1/9). Mubarok menggambarkan gertakan itu sebagai syahwat politik yang menginginkan penambahan kursi Golkar di kabinet. Kata Mubarak, Presiden SBY dipilih oleh rakyat, bukan pilihan partai politik.
Karenanya, Mubarok menyarankan agar menteri kabinet bukan perwakilan Parpol, lebih baik dipegang oleh para profesional. “Kalaupun ada wakil Parpol, itu hanya pelengkap,” kata Mubarok.
Pengamat politik, J.B. Kristiadi, malahan bersuara lebih keras dari Mubarok. Dia menilai desakan Golkar kepada Presiden untuk merombak kabinet sangat ambisius, hanya mengutamakan politik kekuasaan. “Itu permainan kekanak-kanakan. Tidak ada keharusan bagi Presiden untuk mendapat dukungan dari parlemen,” kata pengamat dari CSIS itu sebagaimana dikutip oleh koran sore, Sinar Harapan (30/8). Kristiadi menilai desakan perombakan kabinet sengaja diembuskan untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi bagi kepentingan partai.
Pengamat politik dari LIPI, Syamsuddin Haris, menilai usul Golkar untuk merombak kabinet kurang etis, karena ini bukan pemerintahan Golkar. Apalagi Golkar memang kalah dalam pemilu presiden yang lalu. Kabinet sekarang adalah kabinet presidensil, bukan parlementer.
Sebetulnya, kata Haris, bukan kabinet yang tidak kompak. Tapi memang partai-partai politik sampai saat ini tidak kunjung dewasa. Kenapa? Mengacu pada sistem pemerintahan menurut konstitusi hasil amandemen, sebetulnya SBY bisa membentuk kabinet tanpa melibatkan partai-partai politik lain, kecuali Demokrat yang mengusung pencalonannya. “Melihat sistem pemerintahan yang kita anut, tidak pantas bagi partai lain untuk menuntut perombakan kabinet,” kata Haris kepada M. Subhan dari Berita Indonesia.
Menurut Haris, wajar saja kalau ada polarisasi dukungan terhadap SBY, tapi ini bisa saja ada kaitannya dengan pemilu 2009. Kata Haris, “Kesalahannya juga ada pada SBY. Kenapa? Sebab sejak awal SBY memang menciptakan ketergantungan dia terhadap partai-partai politik di DPR.” Sehingga seolah-olah, kalau tanpa dukungan partai politik dia gampang dijatuhkan, padahal dia mempunyai mandat dari rakyat yang memilihnya secara langsung untuk masa jabatan lima tahun. Kecuali dia melanggar hukum atau konstitusi.
“Kalau saya SBY, cuekin saja. Kalau perlu anggota kabinet yang dari Parpol diisi oleh tenaga-tenaga profesional yang memiliki kompetensi dan keahlian,” kata Haris.
Sebaliknya, Priyo tidak yakin bahwa partainya SBY, Demokrat, berani mengusulkan agar menteri diambil dari unsur profesional saja. Dia meragukan ketulusan dan keberanian mengusulkan hal itu kepada Presiden. Karena, kata Priyo, itu akan menjadi pelatuk bagi jatuhnya posisi Presiden SBY. Bahkan, kalau PDIP mau bergabung, Priyo yakin SBY akan mengakomodasi mereka di kabinet.
Pesaing Golkar di dalam koalisi longgar pemerintahan SBY, PKS, agaknya merasa perlu menyampaikan sikap politiknya lewat advertorial di harian Republika (28/8, halman dua). Judulnya mengutip pernyataan pucuk pimpinan PKS Tifatul Sembiring: 2009 Akan Terjadi Krisis Kepemimpinan. Tetapi yang disorot di dalam advertorial itu, krisis kepemimpinan di tubuh Golkar.
“Hingga saat ini, hampir saja terjadi kekosongan kepemimpinan nasional,” kata Tifatul ketika membuka Rapat Pimpinan Nasional PKS (25/8). Dia memberi contoh, bakal terjadinya krisis kepemimpinan itu dibuktikan dengan kebingungan yang telah dialami Partai Golkar yang belum memiliki calon presiden untuk Pilpres 2009. Tifatul mengemukakan pada khalayak partainya bahwa dia sudah berbicara dengan beberapa orang Golkar, menanyakan calon untuk Pilpres 2009, ternyata mereka bingung.
Menurut Tifatul, Golkar sangat sulit menjagokan Jusuf Kalla pada Pilpres 2009, karena masalah usia. Ketika Tifatul menanyakan: “Bisakah Pak Jusuf Kalla?” Mereka mengatakan, kalau Jusuf Kalla usianya sekarang 67 tahun, tiga tahun lagi 70 tahun. Bila menjadi presiden selama lima tahun, usianya menjadi 75 tahun. “Terlalu tua, kata mereka,” kata Tifatul mengutip orang-orang Golkar yang ditemuinya. Tetapi Tifatul tidak menyebut siapa saja orang Golkar yang ditemuinya. SH (Berita Indonesia 21)
Parpol Bisa Tinggalkan SBY
Keberhasilan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa sebaliknya bagi partai-partai pendukung, kecuali Demokrat. Parpol anggota koalisi longgar SBY mulai mengambil ancang-ancang untuk Pemilu 2009.
Satu-satunya partai yang mati langkah, mungkin Golkar. Tidak mendukung salah, mendukung salah. Lantaran Wapres Jusuf Kalla juga pucuk pimpinan Golkar, partai pemenang Pemilu 2004 ini mau tidak mau harus mengamankan kebijakan pemerintah. Namun Wakil Sekjen Golkar Priyo Budi Santoso menilai: “Kinerja pemerintahan Presiden SBY-Wapres JK belum menggembirakan. Ini yang menjadi catatan, dan mengundang perdebatan sengit di tubuh partai Golkar.” Harian pembawa suara Golkar, Suara Karya (25/8), menempatkan pernyataan Budi pada berita utama di halaman satu.
“Golkar pasti terkena getahnya kalau kinerja pemerintah kurang maksimal. Karena itu kami berkepentingan mengingatkan pemerintahan SBY-JK,” kata Budi. Sebaliknya, jika kinerja pemerintahan memuaskan belum tentu Golkar meraih citra positif di mata publik. Sangat boleh jadi, citra positif itu hanya disandangkan kepada SBY.
Wakil Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR, Agung Laksono, meminta pemerintah mendengar kritik Golkar yang ditujukan kepada Mendagri Muhammad Ma’ruf. Eks ketua tim sukses SBY-JK itu dinilai mengeluarkan keputusan yang merugikan Golkar dalam pemilihan kepala daerah Provinsi Lampung dan Kota Depok. JK sendiri menginginkan Golkar bersikap kritis, obyektif dan profesional terhadap pemerintah. Soal evaluasi kabinet, menurut JK, akan dilakukan Oktober nanti. Namun dia tidak memberi sinyal tentang perombakan kabinet.
Lain halnya dengan lima partai pendukung lainnya PPP, PAN, PKS, PKB dan PBB—tidak terlalu mengikat diri, meskipun wakil-wakil mereka duduk di kabinet. PPP, menurut Sekretaris Umumnya, Yunus Yosfia, tidak pernah membicarakan perombakan kabinet. Partai Demokrat menyerahkan keputusan perombakan kabinet pada SBY. Sedangkan PDIP, satu-satunya partai besar yang wakil-wakilnya tidak duduk dalam kabinet, memperjelas sikapnya yang tidak akan ikut campur dalam soal penggantian enam menteri yang santer dibicarakan di DPR.
Meskipun dua wakilnya duduk di kabinet, PKB, seperti dilaporkan oleh harian Indo Pos (21/8), secara terang-terangan menilai bahwa kinerja pemerintahan SBY-JK masih mengecewakan. “Dalam pandangan anggota legislatif dari PKB, pemerintah sering tidak tegas bertindak merespon persoalan-persoalan rakyat,” kata Khofifah Indar Parawansa, anggota fraksi PKB di DPR. Dia menunjuk kasus lumpur panas di Sidoarjo akibat ulah PT Lapindo Brantas, jika pemerintah tegas bertindak, penderitaan rakyat dapat segera diakhiri.
Pemerintahan SBY, menurut beberapa anggota DPR, mengalami tindakan pembusukan dari dalam, khususnya oleh anggota kabinet. Karena itu, mereka meminta SBY menindak menteri-menteri yang terindikasi melakukan pembusukan dari dalam. Sikap ini dikedepankan secara terpisah oleh Arbab Pabroeka dari fraksi PAN dan Chairul Anwar Lubis dari fraksi PPP.
Eks Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung, mengingatkan SBY agar mengubah gaya kepemimpinannya yang terkesan cenderung ragu-ragu. Meskipun berisiko, kata Akbar, sebagai pemimpin, SBY harus bersikap tegas. Katanya, sudah saatnya bagi Presiden melakukan evaluasi kritis terhadap kinerja para menterinya. Akbar melihat bahwa selama dua tahun pemerintahannya, SBY belum menunjukkan prestasi sesuai harapan masyarakat. Sedangkan sisa pemerintahan SBY, secara efektif tinggal satu setengah tahun.
Pesimis
Menanggapi RAPBN tahun 2007 yang diusulkan SBY ke DPR (16/8), enam partai pendukung pemerintah, termasuk di dalam sembilan dari 10 fraksi di DPR memperlihatkan sikap pesimis. Fraksi PKS yang sejak awal Pilpres bersama-sama Partai Demokrat dan PBB mendukung SBY menyatakan agar pemerintah merevisi RAPBN-nya. Kesembilan fraksi yang pesimis menilai bahwa pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah terlalu tinggi, tidak relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Mereka menyangsikan keakuratan data yang digunakan pemerintah untuk menentukan asumsi makro ekonomi dan kebijakan. Rendahnya penyerapan anggaran pemerintah, iklim investasi yang belum kondusif karena banyaknya pungutan dari birokrasi, dan faktor keamanan juga menjadi alasan sembilan fraksi tersebut meragukan pencapaian target-target pembangunan pemerintah.
Di dalam RAPBN yang berjumlah Rp 731 triliun itu, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 6,3%, nilai tukar dolar AS Rp 9.300, laju inflasi 6,5%, SBI tiga bulan 8,5%, harga minyak 65 dolar AS per barel, produksi minyak 1 juta barel per hari, dan defisit anggara 0,9%. Pemerintah, di sisi lain, menargetkan penekanan angka kemiskinan menjadi 8,4% dan angka pengangguran 5,2% sampai tahun 2009. Pemerintah menurut Menko Perekonomian Boediono mengalokasikan dana Rp 51 triliun untuk menekan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja.
Sikap pesimis—fraksi-fraksi Golkar, PDS, PDIP, PPP, PAN, PKB, PKS, BPD dan BR—dinyatakan dalam sidang paripurna DPR (28/8). Mereka tidak secara tegas memberi dukungan terhadap RAPBN tersebut, hanya fraksi Demokrat yang menyatakan optimis dan memberi dukungan penuh.
Di dalam pidato pengajuan RAPBN 2007 di sidang paripurna DPR (16/8), SBY dikritik karena dianggap mengedepankan data kemiskinan dan pengangguran yang tidak akurat. SBY dituding oleh Amien Rais, Ketua Majelis Pertimbangan PAN, telah melakukan kebohongan publik. Tetapi Amien menambahkan, SBY mestinya bersikap jujur dan mengakui kesalahannya. Jubir Presiden Andi Alifian Mallarangeng menyangkal bilamana SBY telah melakukan kebohongan, sebab yang dikemukakannya data kemiskinan tahun 2005.
Persoalan berat yang dihadapi pemerintahan SBY, yaitu menurunkan kemiskinan dari 16,6% (tahun 2004) menjadi hanya 8,2%, dan angka pengangguran dari 9,7% menjadi 5,1% sampai akhir tahun 2009. Memang penanganan kedua masalah yang sudah menjadi isu politik yang panas itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan, masih jauh panggang dari api.
SBY, menurut tajuk Tempo (edisi 28/8-3/9) dianggap meleset ketika memaparkan angka kemiskinan; berkurang dari 23,4% tahun 1999 menjadi 16% tahun 2005, dinilai sebagai menyembunyikan fakta. Barisan pengeritik SBY, Tim Indonesia Bangkit (TIB), mencatat dua poin penting di balik angka-angka tadi. (1) Jika tahun 1999 sampai 2005 yang jadi patokan, artinya ada sukses periode pemerintahan Presiden Megawati yang diklaim pemerintah sekarang. (2) Jika faktor kenaikan harga BBM 2005 ikut dihitung, angka kemiskinan pada Juli 2005 mencapai 18,7%, dan Maret 2006 melonjak sampai 22%. Tetapi angka kemiskinan yang benar, menurut Direktur INDEF Fadhil Hasan, 18,5% berdasarkan survei BPS, Juli 2005.
Dia mengemukakan bisa jadi Presiden menyembunyikan data yang sebenarnya.
Dalam hal ini, Menkeu Sri Mulyani cenderung menuding BPS memasok data yang tidak akurat kepada Presiden. Kata Sri, tidak ada pesanan dari pemerintah kepada BPS agar memasok data ABS (asal bapak senang). “Dengan data yang benar, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang tepat,” kata Sri. Selain itu, tambahnya, masyarakat mengetahui kondisi yang sebenarnya atas perekonomian nasional saat ini.
PKS yang menjadi mitra SBY di dalam Koalisi Kerakyatan, secara dini mempersiapkan diri untuk menyongsong Pemilu—Legislatif dan Presiden—tahun 2009. PKS memasang target untuk meraih 20% suara tahun 2009 dengan merekrut 1,6 juta kader baru. Jika mencapai target tersebut, PKS bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Presiden PKS, Tifatul Sembiring memperkirakan bahwa di dalam Pemilu 2009 bakal terjadi krisis kepemimpinan nasional.
Dalam Pemilu legislatif tahun 2004, PKS meraih 8,3 juta suara. Partai itu menempatkan 1.112 kadernya di legislatif pusat, daerah dan kota. Tiga wakil PKS duduk di kabinet; Menteri Pertanian, Perumahan Rakyat, dan Pemuda dan Olahraga. Eks Presiden PKS, Hidayat Nur Wahid kini menjadi Ketua MPR. PKS unggul dalam 70 Pilkada gubernur, bupati dan walikota. Tepat jika Tifatul mengatakan bahwa partainya dicemburui oleh partai-partai lain, dan menjadikan PKS sebagai common enemies (musuh bersama).
Lain halnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin oleh pengusaha Soetrisno Bachir. Dia mengaku pengurus PAN harus bekerja keras untuk merebut suara rakyat pada pemilihan umum 2009. Saat ini, PAN mendudukkan 53 wakilnya di DPR. “Ini tidak cukup untuk menggerakkan perubahan,” kata Soetrisno. Karena itu, PAN harus bekerja keras agar rakyat mempercayakan amanahnya kepada partai yang memiliki konstituen utama, Muhammadiyah.
Menurut Soetrisno, partainya konsisten dengan cita-cita reformasi, mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta mendorong kemajuan pendidikan dan kesehatan. Dalam Pemilu 2009, partai berlambang matahari terbit ini, menargetkan perolehan suara minimal 100 orang di parlemen. Soal siapa yang akan dicalonkan PAN menjadi Capres dan Cawapres, Soetrisno mengatakan terlalu dini disebut sekarang. Dia dan Amien Rais bersepakat tidak akan menentukannya sekarang.
Menyimak ancang-ancang yang diambil keenam partai tersebut, bisa jadi tak lama lagi, pemerintahan SBY ditinggalkan oleh partai-partai pendukungnya di DPR, kecuali Demokrat. SH (Berita Indonesia 21)
Kursi Mendagri
Sasaran Antara Partai Golkar
Di balik kekukuhan Partai Golkar mempertegas posisi politiknya terhadap pemerintahan pimpinan duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, terbersit sebuah ambisi besar bagaimana menduduki kursi Menteri Dalam Negeri.
Nama Ma’ruf selalu dibawa-bawa Partai Golkar sebagai alasan untuk menuding lemahnya kepemimpinan SBY-JK, khususnya pada diri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kekecewaan Partai Golkar terhadap Ma’ruf cukup beralasan, terlebih bila ditelisik rekor buruk partai beringin ini semenjak Pilkada digelar pertamakali Juni 2005. Sejumlah calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang diusung Golkar lebih banyak “matinya” daripada menang.
Bahkan kemenangan yang sudah di depan mata, seperti di Kota Depok, Jawa Barat harus lepas karena lemahnya dukungan Ma’ruf. Demikian pula di provinsi Lampung, Golkar berusaha keras mendorong kembali Alzier Dianis Tabrani untuk naik sebagai gubernur pilihan anggota DPRD.
Sampai-sampai Alzier yang awalnya didukung PDI Perjuangan, dan ketua DPD PDI Perjuangan Lampung pula, bersedia lompat pagar untuk menjadi Ketua DPD Partai Golkar Lampung. Tetapi berbagai manuver Golkar tak sedikitpun digubris oleh Ma’ruf.
Ma’ruf sangat hati-hati sekali menyelesaikan kasus Lampung. Ia tak mau mengambil keputusan yang berpotensi memunculkan masalah baru yang lebih parah. Ia sangat ingin mengambil keputusan yang komprehensif karena itu sekali-kali ia tak mau salah memutuskan.
Mohammad Ma’ruf memang jauh berbeda dengan menteri-menteri dalam negeri sebelumnya, yang biasanya sangat mendominasi peta pergerakan dan eskalasi politik dalam negeri. Predikat yang disandangkan pun turut disakralkan di era Orde Baru itu, yakni sebagai pembina politik dalam negeri.
Golkar sangat paham rakyat pemilih di Indonesia masih irasional dan sangat tergantung pada arahan pimpinan formal di daerah. Dengan kursi gubernur, bupati, dan walikota yang minim di tangan, Golkar menjadi tak begitu yakin dapat berbuat maksimal pada Pemilu 2009.
Itu sebabnya Golkar sangat ingin menguasai kursi di kementerian dalam negeri, sebagai sasaran menjelang pertarungan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009.
Menjunjung Supremasi Hukum
Tetapi Ma’ruf rupanya berbeda. Situs Tokoh Indonesia (http//www.tokohindonesia.com/m/mohammad-ma’ruf) sampai-sampai menyebut Mohammad Ma’ruf sebagai “Pamong Penjunjung Supremasi Hukum”.
Menjunjung tinggi supremasi hukum adalah sikap tegas yang dipegang teguh oleh pensiunan militer berpangkat terakhir Letnan Jenderal TNI-AD. Mantan Kassospol ABRI (1995) dan Ketua Tim Sukses Kampanye Capres-Cawapres SBY-JK pada Pilpres Presiden 2004, ini tak memperoleh hambatan berarti untuk bertindak sebagai pamong kendati di tingkat bawah, para gubernur, bupati, dan walikota mempunyai warna politik yang berbeda dengannya.
Pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah pada 20 September 1942 ini tetap berdiri tegak menjalankan aturan main. Ia hanya taat kepada norma, prinsip, peraturan, hukum, dan segala ketentuan yang berlaku yang ditetapkan bersama sebagai aturan main.
Walau di sejumlah daerah yang melangsungkan Pilkada terjadi konflik, atau gugatan dan saling klaim di antara para calon yang bersaing, misalnya, Ma’ruf tetap tak bergeming. Suami dari Ny Rr Hj Susiyati Hasmeng Ma’ruf dan ayah tiga orang putri ini mengembalikan penyelesaian dan keputusan akhir atas setiap masalah dan sengketa Pilkada kepada ketentuan hukum yang berlaku.
Ratusan Pilkada yang telah berlangsung untuk memilih walikota, bupati hingga gubernur menjadi berjalan relatif tertib, aman dan terkendali tanpa gejolak berarti untuk memberi hasil akhir yang maksimal.
Padahal, sebagai sebuah pelajaran atau exercise demokrasi pertama, semua Pilkada sesungguhnya menyimpan potensi yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa, apabila konflik atau perbedaan sekecil apapun sempat tak tertangani secara hati-hati.
“Proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung pada dasarnya bukan sekadar memilih siapa yang akan menjadi pimpinan daerahnya, melainkan juga suatu proses pembelajaran kehidupan berpolitik dan demokrasi yang terwadahi dalam suatu koridor hukum yang benar,” kata Ma’ruf.
Sikap itulah rupanya yang menjadi pegangan utama Ma’ruf, sebuah kata kunci yang dia sampaikan saat berbicara dalam Acara Sosialisasi Pilkada di Jakarta, pada 4 Mei 2006.
Hingga Juni 2006 setelah terselenggara 226 kali Pilkada di seluruh Indonesia, hanya 23 diantaranya yang terindikasi ada masalah. Itupun, Ma’ruf menduga, masalah muncul karena belum ada pemahaman yang mantap terhadap ketentuan dan peraturan yang ada.
Ma’ruf lulusan AMN 1965, dan kader Partai Demokrat (PD), ini kukuh untuk menganut prinsip politik kenegarawanan sebagaimana lazimnya dianut oleh setiap militer sejati Indonesia. Yakni, apa yang terbaik untuk rakyat adalah yang terbaik untuk negara. Sebagai pamong, Ma’ruf lalu sangat menjaga netralitas diri.
Dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, Ma’ruf berkeyakinan Indonesia dapat memasuki era baru sistem perpolitikan yang lebih demokratis, transparan, bersih, dan bebas KKN. Demikian pula tata kehidupan masyarakatnya akan bersandar kepada tertib hukum. E-TI/HT (Berita Indonesia 21)
Perlu Reformasi Jilid Dua
Reformasi sekarang ini banyak yang kebablasan, sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan. Menurut Syamsul yang juga ketua bidang organisasi Partai Golkar, reformasi sekarang hanya melahirkan kebebasan politik, kebebasan pers, otonomi daerah dan liberalisasi ekonomi. Lantas di mana jati diri bangsa? Karena itu, dia merasa perlu lahirnya Reformasi Jilid II yang menegaskan kembali jati diri bangsa; Pancasila, NKRI, semangat UUD 1945, Merah Putih dan Bhineka Tunggal Ika.
Syamsul, di dalam wawancara khusus dengan Tim Wartawan Berita Indonesia, lebih mengutamakan Golkar memperjuangkan hal-hal mendasar daripada sekadar menempatkan lebih banyak orangnya di kabinet. Berikut ini petikan wawancara tersebut.
SOKSI belum lama ini mengeluarkan pernyataan politik yang cukup menyentak. Bagaimana Anda menjabarkan dukungan kritis kepada pemerintah?
Rapat kerja nasional sekaligus Rapat Pimpinan Nasional Serikat Kekaryaan Swadiri Indonesia (SOKSI), salah satu organisasi pencetus Golkar, selain melahirkan kebijakan internal, juga mengeluarkan pernyataan politik yang mungkin mendapat banyak sorotan dari publik. Intinya, pernyataan politik itu meliputi berbagai segi; politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tapi yang menonjol, sikap politik SOKSI.
Reformasi sekarang ini lebih berorientasi reformasi politik. Membangun kebebasan dan liberalisasi saja, tetapi belum membangun sebuah sistem yang diharapkan mapan untuk membangun Indonesia yang dicita-citakan sesuai semangat reformasi. Sehingga reformasi sekarang ini dinilai banyak yang kebablasan. Pertama, kebebasan politik. Ratusan partai hidup dan mati selama dua kali Pemilu. Kedua, kebebasan pers. Tidak ada di dunia ini, pers sebebas seperti di Indonesia.
Sekarang pers tidak bisa disentuh, untouchable. Kalaupun ada yang mau menyentuh akan berhadapan dengan lex specialis yang dituntut oleh pers, yaitu UU Pers. Di negara aslinya liberal, di Amerika, siaran langsung untuk hal yang strategis tidak dilakukan. Harus disampaikan melalui siaran tunda. Ketiga, otonomi daerah.
Sementara liberalisasi ekonomi mengikuti hukum pasar, dan siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Dan semua BUMN disuruh untuk mengejar untung. Sebetulnya BUMN, dalam konteks reformasi, bukan untuk mengejar profit. Sebab ada juga BUMN yang diminta untuk melayani publik.
Kesimpulan SOKSI, reformasi ini titik beratnya ke politik. “Dan tidak satu pun menghasilkan seperti yang diharapkan.” Karena itu, SOKSI dalam pernyataan politiknya, menggagas Reformasi Jilid II. Jilid I, kita tidak boleh mengatakan reformasi ini gagal. Reformasi ini belum menemukan bentuk yang diharapkan. Yang membentuknya Reformasi Jilid II. Nah, Reformasi Jilid II adalah reformasi yang bertumpu pada budaya.
Jadi seluruh aspek kehidupan kita harus berpijak pada budaya atau jati diri. Jati diri kita adalah NKRI, Pancasila, semangat UUD 1945, Merah Putih dan Bhineka Tunggal Ika. Itulah simbol utamanya. SOKSI mengedepankan contoh untuk direnung ulang; apakah makna dari Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan? Apakah itu diterjemahkan dengan bupati dipilih langsung, gubernur dipilih langsung, presiden dipilih langsung?
Kalau pun umpamanya itu, dilakukan seperti itu, sudah sejauh mana kita melihat itu sebagai sebuah format tata negara yang baru. Lalu di mana menerjemahkan kerakyatan. Kedaulatan berada di tangan rakyat, tapi dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Apakah model sekarang ini sudah benar sesuai dengan semangat itu. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Apa yang terjadi jika ekonomi yang kita bangun adalah ekonomi yang liberalistik, tidak mengucur ke bawah. Rakyat tidak mendapatkan hasil dari reformasi; dalam arti kesejahteraan, pemerataan, hilangnya pengangguran dan kemiskinan. Padahal itu yang paling utama.
SOKSI menegaskan perlunya amandemen UUD yang kelima. Secara kasarnya, kader-kader SOKSI yang notabene adalah kader-kader Golkar merasakan bahwa proses perubahan empat kali (amandemen) tidak menghasilkan tata negara yang benar, tata negara yang diharapkan. Sekarang ada DPD, DPR dan MPR. Coba buat gambar skematiknya. Bagaimana DPR, MPR dan DPD. Apa fungsi-fungsinya.
Sudah klopkah ini dalam kaitannya dengan eksekutif (pemerintah)? Dan di mana letak presidentil, 60 persen suara memilih SBY-MJK. Tetapi parlemennya dari macam-macam partai.
Apa yang Anda maksudkan dengan Reformasi Jilid Kedua?
Pak Suhardiman, sesepuh SOKSI, mengungkapkan seperti angka dua belas dalam jarum jam, tetapi pusatnya ada di tengahnya. Dua belas krisis; konstitusi, ekonomi, politik dan lain-lainnya. Di tengahnya, atau pusatnya, krisis budaya atau jati diri. Jadi untuk menyelesaikan krisis yang dua belas itu, maka harus dimulai dari krisis sentra, budaya. Mana lagi kita merasakan rakyat Indonesia, antara Anda dari Batak dan saya dari Kalimantan. Anda Kristen, saya Muslim, kita bersaudara. Coba lihat di Kalimantan, orang Madura disuruh pulang oleh orang Dayak. Itu bukan Indonesia.
Coba kita lihat Pilkada-Pilkada, kalau bukan putra daerah tidak boleh muncul. Mana itu negara kesatuan? Kita lihat otonomi daerah, siapa yang lebih banyak sumber daerahnya dia lebih kaya. Kutai Kartanegara, masih daerah saya di Kalimantan, APBD-nya Rp 2,7 triliun. Mana ada kabupaten seperti itu, provinsi pun APBD-nya paling banyak dari Rp 1 triliun. Apa itu yang ingin diwujudkan oleh reformasi? Tapi saya tidak bisa mengatakan hal itu, kecuali mengatakan kita harus mulai membangun kembali jati diri keIndonesiaan. Coba hayati Keadilan Sosial, kembali ke Permusyawaratan dan Perwakilan, kembali ke Persatuan Indonesia. Kalau tidak mulai dari situ, maka republik ini tidak akan bergerak. Kita bisa seperti Filipina. Setelah pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos tumbang 20 tahun lalu, Filipina terus menerus reformasi.
Arah reformasi harus jelas, ke mana kita nanti. Satu pertanyaan besar di kalangan SOKSI, siapa yang memikirkan tata negara kita ke depan? Kalau saya katakan tadi MPR, MA, DPR, DPD, MK dan KY dan segala macam lembaga. Negara mana di dunia ini seperti di Indonesia? Sistem apa namanya dalam referensi ketatanegaraan di dunia? Adakah orang yang memikirkan bagaimana ini nanti?
Terus bagaimana mencari identitas bangsa?
Tadi saya katakan tidak ada yang memikirkan itu. Coba UU Pemilu, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD dibiarkan seperti sekarang. Misalnya, ada lima Caleg yang tidak memenuhi bilangan pemilih. Kalau ada Caleg yang memenuhi bilangan pemilih, katakanlah seratus ribu suara, yang nomor empat dapat sembilan puluh ribu suara, yang nomor satu hanya dapat seribu suara, yang memperoleh suara terbesar tidak duduk di DPR padahal dipilih. Yang duduk malah di urutan nomor satu. Ini sistem apa namanya, coba cari referensinya. Itulah yang dikataka Pak Suhardiman, reformasi ini kebablasan. Jadi, reformasi tidak membentuk sebuah tatanan yang solid bagi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tema inti SOKSI, membangun kembali solidaritas bangsa.
Besaran kenaikan harga BBM tahun 2005 terlalu besar sehingga menimbulkan malapetaka bagi ekonomi nasional. Tetapi kenapa semua Fraksi DPR mendukung kebijakan tersebut?
Golkar memberikan dukungan untuk kenaikan BBM atas dasar perhitungan realistik terhadap APBN, harga minyak internasional dan kondisi perekonomian kita. Dengan kata lain, kalau kita mempertahankan subsidi BBM, sementara harga BBM di luar negeri terus naik, maka BBM akan diselundupkan ke luar, dan itu terjadi pada masa itu. Membengkaknya APBN untuk menutupi subsidi. Karena itu, Golkar memberikan dukungan kenaikan BBM. Jangan lupa, pada saat kita melakukan reformasi, kita sepakat untuk tidak ada subsidi dalam sekian tahun kemudian. Sebenarnya, direncanakan APBN 2004 sudah nol subsidi BBM. Saya ingat betul karena waktu itu saya ikut di kabinet. Tahun 2003, Ibu Mega (Presiden) kedua kalinya menaikkan harga BBM. Karena Pemilu 2004, Ibu tidak menaikkan harga BBM tahun itu.
Pemerintah terus terang, walaupun saya di dalamnya, kabinet tidak konsekuen, dan publik juga tidak konsekuen. Kalau publik konsekuen, kenaikan BBM itu logis untuk menyehatkan perekonomian kita. Tetapi semuanya keberatan dengan kenaikan BBM. Nah, di sini ada kontradiksi, antara kita ingin melepaskan beban APBN. Kalau APBN besar untuk subsidi, maka utang 310 miliar dolar AS tidak kebayar, yang itu berat. Nah, dalam konteks itulah Golkar memberikan dukungan.
Karakter Jusuf Kalla adalah tidak mau munafik. Kalau kabinet menyatakan BBM naik, dia harus menjelaskan kepada rakyat, ini putusan pemerintah. Kader Golkar menyerang Pak JK, bukan saja dalam kenaikan BBM, tetapi juga kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak populer lainnya. Itu juga disuarakan dari dalam. “Jangan Pak Jusuf yang bicara,” tetapi Menko Perekonomian atau Menteri ESDM, sehingga tidak membawa akibat kepada Golkar. Pak Jusuf tidak mau itu. Sebagai pemimpin dia katakan, “Saya bertanggungjawab terhadap keputusan itu, oleh sebab itu saya berkewajiban untuk menjelaskan dan berhak untuk mengatakan bahwa itu adalah sikap saya.” Jadi dia tidak mau berpolitik dalam arti politiking, dia tidak mau tidak jujur kepada publik.
Partai-partai lain tidak ada yang berani pasang badan seperti Golkar. Tapi sekarang baru kita rasakan, seandainya tidak ada kenaikan, harga BBM sudah US$ 70 per barel, sudah Rp 150 triliun kita buang untuk subsidi. Padahal APBN-nya hanya Rp 460 triliun. Barangkali sekarang akan lebih dari itu.
Bisakah dikatakan bahwa kita kerap bersikap double standard?
Ya. Pada para pendukung Golkar, di SOKSI, bertanya, ada apa pemerintah seperti ini? Lapindo Brantas, lain lagi ceritanya. Lapindo itu kebetulan perusahaannya Ical (Aburizal Bakrie dari Golkar). Karena ini perusahaan Ical, maka tanggungjawab disuruh pada perusahaan itu sendiri. Soal Icalnya rugi, tidak ada persoalan sama kita. Risikonya memang pada perusahaan tersebut. Tetapi yang rugi rakyatnya. Rakyat yang rugi apakah diserahkan pada perusahaan saja, tentunya harus ditangani pemerintah. Seharusnya pemerintah turun tangan, tidak bisa dilepaskan, tidak bisa tanggungjawab pemetintahan hanya dengan mengejar siapa yang salah, dan diproses secara hukum.
Dalam hal ini apakah harus ada tanggungjawab pemerintah kepada rakyat?
Iya, maksud saya, itu ketika rakyat sengsara, ketika itu pemerintah harus turun, jangan di pemerintahan ini tidak berani turun karena dianggap membela Ical yang notabene adalah orang Golkar. Itu lain dan dipisahkan itu. Bahwa Ical akan menanggung kerugian tidak masalah buat kita. Tetapi rakyat jangan dibiarkan, perlu diatasi. Dan lebih gamang lagi, jika lumpur itu dibuang ke laut tidak berani berhadapan dengan nelayan. Bila dibendung akan berhadapan dengan rakyat sekitarnya, kini sudah berembes dan tanggulnya akan bobol lagi. Tidak boleh tidak ada tindakan, dibiarkan menggunung terus menerus. Jadi, kalau dibendung tidak ada habisnya, harus ada pemecahan, misalnya dibom seperti di Cina. Pemerintah Cina berani, karena itu terjadi di kawasan yang tidak berpenduduk. Jadi dimasukkan dinamit atau bom ke dalam dan diledakkan. Tapi kalau dibom bisa saja Surabaya yang ambrul… ha… ha… ha!
Dan kalau kondisi ini tidak diperbaiki?
Kalau terus menerus seperti ini, tidak diperbaiki, yang di bawah bisa kehilangan kesabaran. PHK terus berjalan, orang cari kerjaan susah, tapi Mall muncul terus Itu karena apa? Karena liberalisasi ekonomi. Dulu dibatasi, tapi sekarang dibiarkan. Komoditi pertanian kita semuanya anjlok, tidak mampu berhadapan dengan komoditi pertanian yang datang dari luar. Sewaktu saya jadi menteri, harga gula dalam negeri Rp 3.500-Rp 4.000 per kilogram, sedangkan gula dari Thailand hanya Rp 1.800 per kilogram. Thailand tidak mau gulanya dijual ke pasarnya sendiri. Pemerintah membeli gula rakyat supaya harga gula di sana tidak anjlok. Setelah dibeli oleh pemerintah, dijual keluar karena pemerintahnya punya duit. Dia jual keluar dengan harga murah untuk menjaga kepentingan petani. Jepang juga melakukan hal seperti itu. Kalau mengimpor, Jepang menaikkan penjualan di pasar lokal sampai 300 persen untuk memproteksi petani-petaninya. Kita tidak. Beras mau diimpor dan dijual di pasar lokal dengan harga yang jauh lebih murah, sehingga harga jual beras petani jatuh. Ini berbahaya, karena petani lama kelamaan tidak mau menanam padi. Mestinya para petani dilindungi. Apa kita ingin membangun harga murah atau petani tetap hidup layak? Jadi harus ada keseimbangan, komoditi rakyat yang menguasai hajat hidup orang banyak harus diproteksi oleh pemerintah.
Kita, sebagai anggota, terikat pada ketentuan WTO yang tidak memberikan proteksi?
Tapi mengapa orang lain boleh. Amerika boleh, Jepang boleh. Kenapa begitu?
Karena kita lemah, itu persoalannya. Kita harus punya keberanian untuk melindungi komoditi rakyat. Apa Anda ingat, tebu ditebang ditaruh ke tengah jalan, karena harga gula anjlok. Coba, padi, tembakau dan komoditi-komoditi lainnya diperlakukan seperti itu. Makanya sekarang, SOKSI melakukan dua gerakan, jangan hanya membikin pernyataan politik. Tetapi juga melakukan pengaderan kebangsaan dan gerakan pemberdayaan ekonomi rakyat. Bukan hanya terbatas pada anggota SOKSI dan pendukung Golkar, tetapi seluruh anggota masyarakat. Misalnya, di Palu kita mengirim Koperasi Mitra. Lewat Walikotanya, membantu 400 KK, walikotanya mengalokasikan anggaran Rp 400 juta untuk budidaya rumput laut. Bisnisnya dikelola oleh Koperasi Mitra. Dalam waktu 45 hari mereka panen, pinjaman kepada Pemkot dikembalikan dalam empat kali cicilan. Dana itu kemudian digulirkan lagi kepada 400 KK berikutnya. Begitu seterusnya. Nanti kita kembangkan lagi di sektor penggemukan sapi, perkebunan jarak, dan lain-lain. Seperti inilah kita mengembangkan ekonomi rakyat. Jadi SOKSI tidak sekadar jual kecap.
Kita tidak cari posisi politik, Saya bahkan diminta untuk menyelesaikan gagasan ini. Jadi tidak memikirkan posisi menteri. Kenapa? Nantinya akan repot sehubungan dengan posisi di SOKSI dan Golkar. Saya memang merasakan adanya misi yang mulia. Tetapi itu hanya butir kecil saja dari gagasan lain yang secara kontekstual harus menjadi gerakan nasional. Malaysia punya visi dan misi sampai 2020. Kita punya apa?
Sekarang, baru disusun rencana pembangunan jangka panjang, tapi itu kan dibikin pemerintah. Dulu kita punya GBHN, sekarang tidak ada lagi. Programnya semakin tidak jelas. Nanti berganti Presiden, bikin lagi yang lain. Ganti Presiden, ganti pula programnya. Lantas jangka panjangnya mana? Saya sudah meminta Lemhanas, UI dan UGM, coba ini dipikirkan. Dulu Pak Harto (Presiden), punya konsep melalui seminar Angkatan Darat I dan II. Dua kali seminar melahirkan Akselerasi Pembangunan 25 Tahun dan itu konsekuen dia laksanakan. Dulu banyak orang mengatakan floating mass (massa mengambang) itu tidak cocok, sekarang ternyata benar. Setelah massa mengambang kita copot, para pendukung partai-partai di bawah gontok-gontokan sesama kita. Mana kepikiran lagi untuk memperbaiki nasib petani atau yang lain-lain. Sekarang, yang dipikirkan bagaimana memenangkan Pilkada, Pemilu dan Pemilihan Presiden. Masa’ itu terus yang kita jadikan agenda. AM,CRS,SH (Berita Indonesia 21)
________________________________________
Biodata:
Nama : H. Letjen TNI (Purn) Mohammad Ma’ruf AR, SE
Jabatan : Menteri Dalam Negeri RI
Lahir : Tegal, 20 September 1942
Agama : Islam
Istri : Hj. RR. Susiyati Hasmeng Mohammad Ma’ruf
Anak : Tiga (3) Putri
Pendidikan : AMN 1962
Karir Militer:
• Kepala Staf Kodam IX Udayana, 1990
• Kepala Staf Kodam IV Diponegoro, 1991
Gubernur AMN Magelang, 1992
Assospol Kasospol ABRI, 1993
Kasospol ABRI, 1995
Dubes RI untuk Vietnam, 1996
Alamat Kantor:
H. Moh. Ma’ruf, S.E.
Departemen Dalam Negeri RI
Jalan Medan Merdeka Utara No. 7
Jakarta Pusat
Telp. (021) 384.2222, 330.101,
Faks. (021) 381.2221
http://www.beritaindonesia.co.id/berita-utama/golkar-menggebrak-lewat-soksi/all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar