Jumat, 29 Juli 2011

Merebut Kursi SOKSI Lewat Lemparan Kursi
• Tuesday, June 1, 2010, 13:49
Musyawarah Nasional (Munas) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) IX berujung ricuh. Dampak money politics yang kental dalam tubuh underbouw Golkar ini.

SUDAH berapa banyak aksi lempar kursi yang terjadi di dalam pesta demokrasi di Indonesia? Jika Anda mencatatnya, mulailah tambahkan Musyawarah Nasional (Munas) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) IX kedalamnya. Ya, saling lempar kursi antar pendukung calon ketua umum terjadi di arena munas yang berlangsung di Hotel Ever Green, Cisarua, Bogor, itu.
Pemicu kerusuhan adalah kriteria calon ketua umum organisasi. AD/ART organisasi di pasal 41 huruf J tercantum seorang kandidat ketua tidak sedang terkait persoalan hukum, korupsi, kolusi, nepotisme, dan tidak melakukan praktik politik uang. Sedangkan pasal 41 huruf K berbunyi calon ketua umum harus berdomisili dan bertempat tinggal di Ibukota yang dibuktikan dengan KTP sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar Pasal 3.
Nah, pasal inilah yang membuat suhu ruangan sidang memanas. Seorang peserta munas membanting kursi ketika agenda sidang membahas soal kriteria kandidat. Perilaku tak elok itu membuat peserta lain terpancing emosi. Perang kursi pun tak terhindarkan. Akibatnya, pendiri SOKSI Suhardiman dan dua orang kandidat ketua umum, Rusli Zainal dan Ade Komaruddin, dievakuasi panitia. Keriuhan yang berlangsung selama sekitar setengah jam itu mulai mereda ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan peserta lainnya.
Betul, munas SOKSI kembali bergulir setelah insiden tersebut. Tapi, belakangan, ditutup paksa Suhardiman yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat SOKSI. Maklum, kondisi dan situasi hajatan makin tidak terkendali sejak terjadinya kerusuhan. Jika terus dibiarkan, katanya, dapat mengancam kelangsungan organisasi dan bisa mengancam kesatuan berbangsa dan bernegara.
“Sesuai dengan mandat yang diberikan pada pendiri, maka dengan ini sidang saya ambil alih untuk menentukan kepengurusan Depinas SOKSI periode 2010-2014. Dan ini berlaku mengikat untuk seluruh anggota. Berikan saya waktu tiga bulan untuk mencermati dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Suhandiman dalam sidang paripurna yang hanya diikuti dua pimpinan sidang dan tanpa dihadiri 24 Dewan Pimpinan Daerah (Depidar) se-Indonesia itu.
Tak pelak, agenda utama munas yaitu pemilihan Ketua Umum SOKSI periode 2010-2015, gagal terlaksana. Suhadiman juga menganggap dead lock munas ormas yang merupakan pelaku utama dalam pendirian partai Golkar itu. Tentu saja hal ini menimbulkan silang pendapat diantara peserta munas, terutama kubu Rusli Zainal yang merasa dirugikan akibat keputusan tersebut.

Para pendukung Gubernur Riau itu merasa manuver ketua dewan penasihat inkonstitusional. Mereka menilai, penutupan sidang paripurna hanyalah upaya menjegal jagoan yang diusungnya. Sebagai gambaran, Rusli tak punya KTP Jakarta. Dus, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) saat ini sedang memeriksa dugaan korupsi yang dilakukan Rusli terkait kasus penyalahgunaan penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Provinsi Riau.

Bisa jadi rekam jejak Rusli yang bernoda itulah membuat Suhardiman enggan melanjutkan sidang paripurna. Soalnya, sang pendiri menginginkan pucuk pimpinan SOKSI dipegang generasi yang berkualitas unggul. Apalagi, Rusli pernah mengumpulkan Depidar-depidar selama sehari semalam. Inilah yang membuat dugaan praktik politik uang merebak ke permukaan sehingga Suhardiman kurang sreg dengan Rusli.

Menurut pengamat politik Universitas Indonesia Abdul Gafur Sangadji, adanya politik uang kepada pendukung dengan tujuan pemenangan di dalam pesta demokrasi, menutup peluang kandidat lain dan membuat pertarungan calon ketua menjadi tidak menarik. Sayang, alat bukti politik uang sulit ditemukan sehingga praktik haram itu acap dilakukan kandidat ketua.

Abdul menambahkan, suap-menyuap sumber daya politik menegasikan rekam jejak, visi-misi, integritas, dan kredibilitas calon ketua umum. “Politik uang juga terjadi di negara maju. Tapi, tetap saja, membuktikan hal itu amatlah sulit. Makanya money politics menjadi salah satu senjata ampuh kemenangan pemilihan calon ketua umum,” ujarnya.

Sebagai organisasi, Abdul menilai, budaya pragmatisme masih melekat di tubuh SOKSI. Buktinya, ya itu tadi, indikasi politik uang dan sikap tidak dewasa berpolitik dalam menyikapi perbedaan diantara faksi-faksi yang ada. “Inilah bukti bahwa premanisme politik masih tumbuh subur di organisasi itu,” katanya kepada Indonesia Monitor.

Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW (Indonesia Corruption Watch), Fahmi Badoh, menilai peraturan internal terkait persoalan korupsi kandidat ketua umum mesti ditegakkan di semua organisasi atau partai politik. Pasalnya, UU belum ada yang mengaturnya. Adalah bijak jika ada elite organisasi politik yang berinisiatif memulai hal itu.

Menurutnya, setiap organisasi massa harus memulai tradisi demokrasi yang bersih dari perilaku buruk seperti korupsi dan politik uang. Jika SOKSI bisa melakukannya, lanjut Fahmi, maka organisasi lain yang memiliki komitmen politik ke partai beringin rimbun bakal mengikuti tindakan tersebut.

“Kalau SOKSI tidak mau berubah, akan berdampak kepada tergerusnya perolehan suara Golkar di Pemilu mendatang. Maka dari itu, calon ketua SOKSI haruslah yang muda, bersih dari korupsi, dan punya rekam jejak yang baik. Saya pikir, Golkar memiliki banyak kader yang memenuhi kriteria tersebut,” ujarnya kepada Indonesia Monitor.
Lagi-lagi, isu money politics yang menyulut perang antar para pendukung calon ketua umum. Dulu, publik mungkin menganggap politik uang sudah biasa terjadi. Tapi, sekarang, kata Fahmi, money politics telah dianggap cela bagi masyarakat. “Inilah saat yang tepat untuk mengubah kebiasaan buruk itu,” ujarnya.

■ Rega Indra Adhiprana
http://monitorindonesia.com/?p=777

Tidak ada komentar:

Posting Komentar